WOW! Kayanya kali ini bener-bener udah lama ya aku gak nulis? Sebenernya udah lama banget banget banget banget pengen nulis – like my curiosity needs to be resolved and told them all to you! But thank God for answering my pray, akhirnya aku dapet pekerjaan yang aku impikan selama ini! It’s been a hectic months. I keep haunted by all the deadlines, but eventually I really enjoy and love my job. Emang ya kalau kerja sesuai passion dan beneran pake hati mau secapek apapun fisik dan pikiran, karena kita suka jadi ya gak berasa aja gitu. 

Well enough for me, what about you guys? Apa aja yang udah kalian laluin? Aku berharap apapun itu, semoga kalian menikmatinya dan tetap bersyukur yaa! 

Okay, mungkin selama ini aku gak pernah buat review entah itu film, serial TV, atau karya sastra apapun dalam blogku. Tapi yang satu ini bener-bener bikin aku gak tahan! Kalian juga pasti gregetan sama serial drama yang bakal aku bahas sekarang – but in the cutest way. 

True Beauty Drama Series Review

So, kali ini aku pengen banget buat ngebahas True Beauty – salah satu drama series yang diangkat dari webtoon populer buatan Yaongyi. I think there are tons of webtoon-turn-into-TV-series yang bagus-bagus, let say Cheese in the Trap, Sweet Home, Strangers from Hell (one of my favorite!), tapi gatau kenapa True Beauty bikin aku pengen buat ngereview. I just love this screenplay. 

Dari webtoonnya sendiri aku sebenernya baca dan menikmatinya, tapi entah kenapa aku berhenti baca since I don’t know when. Mungkin yang bikin aku gak lanjut baca adalah dari storylinenya. Season 1 aku baca sampai tuntas – and it touched my heart while Lee Su Ho gave the necklace to Im Ju Gyeong at the airport – tapi aku mulai merasa bosan di pertengahan season 2. Menurutku ceritanya udah mulai bias dan outputnya udah gak sebaik season 1. Aku berpendapat seperti ini berdasarkan dari apa yang aku baca sampai pertengahan season 2 – and I’m really sorry to say this😭 but this webtoon is very enjoyable to read. 

Sampai akhirnya di akhir 2020 tvN mengumumkan kalau True Beauty bakal diangkat jadi drama series (and thank you Studio Dragon for make this happen!). Dari lineup castnya sendiri bikin aku gak sabar buat nonton saat itu. Kastingnya juara abis, karena para aktor beneran mirip banget sama yang ada di webtoon secara visual. That was my first impression. Also, one thing that makes me questioning about this drama – what will they do with Kang Soo Jin since she’s been introduced along with the three main characters. 

True Beauty Drama Series Review
Photo: Vogue Korea – look at their visual! Super cute🌻🌻

Setelah akhirnya drama ini mengudara – and thank you again for giving us 2 episodes every week – AKU BENERAN SESUKA ITU. Ceritanya ringan, dibumbui dengan drama-drama kecil yang gak bikin naik darah dan kita gak perlu menguras otak kita untuk mikir. Komedinya dapet banget dan gak berlebihan – apalagi ngeliat kelakuan keluarga Ju Gyeong yang, kalau aku ada di posisi dia, aku juga pasti bakalan pusing dan kesel sendiri😂 ditambah dengan orang-orang di sekeliling Ju Gyeong yang bisa buat kita flashback ke jaman SMA; aku bisa ngeliat persahabatan yang hangat, romantic vibes yang bikin kita inget sama first love kita, bromance relationship yang kembali tumbuh setelah melewati tahun-tahun penuh kesalahpahaman, sampai segala bentuk cinta orang tua yang gak pernah putus sama kita sebagai seorang anak. 

The character development for each person is truly beautiful, which I probably didn’t see from its webtoon. Aku pernah baca satu artikel di Soompi yang nyeritain kalau Moon Ga Young butuh waktu dan ngerasa kesulitan buat memahami karakter Im Ju Gyeong (but please, she really nailed it😭). Aku bisa ikut ngerasain apa yang Ju Gyeong rasain di setiap episode. Cha Eun Woo – my lovely Su Ho, since I always be a part of #teamSuHo – juga bisa memerankan dinginnya Su Ho, terlepas dari anggapan banyak orang kalau Eun Woo selalu mengambil peran dengan nuansa yang sama (as once he portrayed the same cold-prince-character in My ID is Gangnam Beauty). Jujur aku nangis pada adegan ketika Su Ho akhirnya ngomong jujur ke ayahnya apa yang ia pendam sampai akhirnya dia mengidap anxiety disorder. And can we please give a highest praise for Hwang In Yeop? Aku bisa liat dia beneran tulus memainkan peran Han Seo Jun, apalagi waktu Seo Jun bersikeras di depan Ju Gyeong buat gak nyatain perasaannya terhadap Su Ho – and don't forget his unforgettable Okey Dokey dance. Gak kelupaan buat mention Park Yoo Na yang bisa menyampaikan how desperate Soo Jin was. Kadang aku bisa memaklumi apa yang Soo Jin lakuin dalam drama. I’ve been rooting on you Yoo Na-ya, I hope you’ll get the main lead character asap! Aku gak bisa nyebutin karakternya satu-satu – Im Family, I love you so much – tapi bagi aku mereka spesial banget karena udah bisa menyampaikan pesan yang dimiliki True Beauty, apapun peran mereka dalam drama ini. 

True Beauty Drama Series Review
Photo: Elle Korea – OMG she's so pretty😍😩

And what I really want to highlight is the title itself. Kita bisa liat kalau ketiga pemeran utama inilah yang memiliki “True Beauty” yang sesungguhnya. Im Ju Gyeong, walaupun menurut standar orang-orang wajahnya terbilang “gak cantik” (padahal menurutku dia cantik yaAllah) tapi sesuatu yang ada dalam dirinyalah yang membentuk makna cantik itu sendiri. The icy-guy Lee Su Ho, dibalik sikapnya yang sedingin freezer, dia peduli dan bertanggung jawab penuh atas apa yang diinginkan hatinya untuk terus bisa bersama dan berbuat baik sama orang-orang disekitarnya. Even the rebellious boy Han Seo Jun bisa bersikap loyal dan altruistik terhadap orang terdekatnya – not to mention he also devoted to his mom and being the reliable protector for his lil sister. 

Aku gak bisa liat ada kekurangan dari drama ini, not a single penny. Pesannya terkait kasus bullying dan traumatic experience bisa tersampaikan dengan amat baik tanpa terkesan menggurui. I truly recommend this drama, it’s completely warm and lovable. Kecantikan gak bisa selamanya bisa kita liat dari luar, dan kita pun gak bisa menilai hidup seseorang hanya berdasarkan apa yang kita lihat sehari-hari. As for the wrap up, I will give you a quote related to this post: 


“If people were more concerned with how they looked on the inside, then on the outside, the world would be a nicer place to exist.” – David Walsh 


Sampai ketemu di postingan selanjutnya! Don’t forget to spread love and kindness🖤🖤💛💛
“Collin, ini Vivi dari program tari – Vi, ini Collin. Sepupuku.”
“Hai!” ia menjulurkan tangan, menampilkan barisan giginya yang rapi dari bibir tipisnya dan menempatkan tubuhnya disamping Bastian. “Lagi apa?”
“Lagu buat preliminary minggu depan. Kau tidak ada kelas sore ini?”
“Harusnya ada, tapi instrukturku berhalangan hadir jadi mungkin akan ada kelas pengganti malam nanti.”

Seperti biasa, Papa Gio setiap sorenya selalu dipenuhi oleh mahasiswa – jelas karena lokasinya berada di pusat kota dan dikelilingi oleh beberapa universitas dan perkantoran elite. Interior Papa Gio sendiri layaknya sebuah restoran Italia, didominasi oleh perabot kayu – meja, kursi, lantai, hingga peralatan makan – dengan dinding berwarna natural di satu sisi, dan sisi lainnya terdapat mural dari Città Sant’Angelo, salah satu kota di Abruzzo, Italia yang merupakan tempat kelahiran dari Papa Gio dan istrinya. Tampak sebuah pohon ek setinggi lima meter yang dikelilingi sejumlah table set dan sebuah panggung kecil pada area outdoor yang disediakan Papa Gio di tengah restorannya. 

Papa Gio sendiri telah mengelola restoran miliknya sejak 15 tahun silam, tepat setelah kelahiran putri bungsunya yang kini menempuh pendidikan di sekolah yang sama dengan Karen. Istrinya, Florence, sempat divonis memiliki tumor jinak pada payudaranya tahun lalu. Beruntunglah ia dapat bertarung melawan sakitnya dan sekarang kondisi fisiknya jauh lebih baik. Mereka sempat kewalahan untuk membiayai pengobatan Florence – inilah yang menyebabkan gaji Kiana tidak turun selama beberapa bulan – namun akhirnya mereka mendapatkan bantuan dari kedua anak tertuanya dan kini kondisi finansial mereka kembali stabil.

Buona sera, Kiana! Kau kesini menggantikan Joshua?”
“Halo, Papa,” ia mengambil celemeknya yang disangkutkan dekat meja kasir. “Ya, dia ada asistensi di kampusnya sampai jam 5 nanti. Ini temanku, Karen dan Barry.”
“Senang bertemu dengan kalian. Ia tidak pernah membawa siapapun kesini, sepertinya dia tidak memiliki teman.” Kiana melempar tatapan jengkel kepadanya, berusaha meredam emosi.
“Astaga, Gio. Berhentilah menggoda Kiana.” Florence kini membawa buku menu, mengantar Karen dan Barry ke salah satu meja di area outdoor. “Kiana sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, dan sikap Gio semakin menjengkelkan Kiana setiap harinya. Aku harap dia betah bekerja disini.”
“Dia menyukai pekerjaannya, Signora.” Karen meraih buku menu dan memberikan senyum khasnya kepada Florence.
“Panggil aku jika kalian butuh sesuatu,” ia melesat pergi menuju area dapur.
“Abis denger cerita Kiana, gue langsung suka sama mereka.”
They’re good people. Gue kayanya udah gak keitung deh makan disini.”

Tidak sampai setengah jam, pesanan mereka sudah ada di meja. Karen memesan chicken parmigiana – disajikan dengan saus pesto dan keju mozzarella diatasnya – dan red shrimp with Caesar salad yang ditemani parmesan frico untuk Barry.
“Bukannya lo bakal ada acara ya akhir bulan ini? Yang Jazz Annual itu kapan?” Karen membuka pembicaraan.
“Sabtu ini.”
“Dua hari lagi tapi kok lo kelar cepet hari ini?”
“Gue kasih semua kerjaan gue ke anak magang. Akhirnya setelah berbulan-bulan gak ada yang bisa disuruh, mereka dateng juga.”
“Gaji buta lo.”
“Sehari doang, Ker. Sensi amat,” Barry meneguk sparkling water, berpikir dan akhirnya bertanya, “lo bakal dateng?”
“Tergantung sih. Preliminary gue kan hari Senin, jadi gue harus liat kondisi dulu siapa tau gue harus latihan lagi sama anak-anak.” Karen melihat ada sedikit kekecewaan dari raut wajah Barry yang saat itu sedang mengalihkan pandangannya ke arah panggung. “Tapi gue bakal usahain buat dateng, kok. Gak ada dress code aneh-aneh kan?”
Barry mengubah pandangannya kembali, kini menghadap Karen. “Enggak lah, lo kira mau ke Oscars?” ia menambahkan tawa renyahnya. “Lo boleh ajak Kiana kok, atau yang lain. Gue yang bayar tiketnya.”
“Wow, ada apaan nih tiba-tiba lo jadi royal begini.”
Dari meja kasir, Kiana melihat pemandangan ini. Udah gak salah lagi, gue harus tanya Karen, pikirnya. Ia pun terdistraksi oleh pengunjung yang hendak membayar pesanannya.

Bel Canto: New York, New York

“Sepertinya dia menyukaimu,” Collin buka suara setelah terdiam sejak ia menyelesaikan santapannya.
“Maksudmu?”
“Perempuan tadi, ia menyukaimu. Kau belum sadar juga?”
“Vivi? Jangan asal bicara kau.”
“Begini, saudaraku.” Collin memperbaiki posisi duduknya. “Dari dia datang saja yang dia ajak bicara hanya kau, padahal disini ada aku yang jelas-jelas sudah berkenalan dengannya. Omong-omong, dia hanya menyapaku sekali tanpa bertanya barang cuaca sekalipun padaku.”
Bastian mengerutkan dahinya, kemudian tertawa. “Itu karena kau tidak memulai pembicaraan, Collin. Jika kau yang memulai, dia pun pasti akan menjawab.”
No, it’s nothing like that.” Collin bertanya dengan spontan, “kau menyukainya bukan? Atau ada perempuan lain yang kau sukai?”

Bastian menatap kosong ke layar laptop. Entahlah, sampai saat ini ia belum merasakan apapun pada Vivi – kecuali rasa kagumnya ketika pertama kali ia melihat Vivi menari di studio. Ini masih terlalu cepat, ia baru saja mengenalnya pagi tadi.

Beda halnya dengan Karen. Walaupun ia baru mengenalnya beberapa minggu terakhir secara resmi, namun rasanya ia telah lama memahaminya. Teringat kembali pembicaraan mereka di malam itu saat ia berjalan ke arah apartemen Karen, menemaninya pulang.
“Bagaimana akhirnya kau sampai disini?” tanya Bastian, berjalan menaiki tangga yang diikuti Karen menuju permukaan jalan.
“New York? Aku sudah di kota besar ini sejak SMA, sebelumnya aku tinggal bersama kakak ibuku di Princeton.”
“Kupikir kau baru saja pindah kesini tahun lalu.”
“Tidak. Aku sudah meninggalkan Indonesia dari usiaku 10 tahun. Force to the limit for the sake of my dreams.” Karen kembali memancarkan senyum sambil mengibaskan rambut hitamnya. “Bagaimana denganmu? Apa yang membuatmu dan Collin akhirnya kemari?”
“Ayahku meninggal awal tahun lalu. Cancer. Sepertinya kecil peluangnya bagi setiap penderita kanker stadium akhir untuk bertahan hidup dalam waktu yang lama.”
I’m sorry, Bas.”
That’s fine. Awalnya aku tidak memiliki keinginan untuk pergi. Toulouse adalah kota yang indah, aku dan Collin benar-benar menyukainya dan enggan untuk meninggalkan kota kami – itu sebutan konyol kita untuk Toulouse. Beda denganku, Collin dengan otak encernya mendapatkan beasiswa untuk bidang yang benar-benar ia minati.”
Don’t you like composing music?
I do. Tapi sampai sekarang aku belum melihat manfaat dari aku mengambil major ini. Aku menyukainya – namun aku tidak bisa melihat masa depanku dengan apa yang aku jalani sekarang. Kau tahu, terlalu banyak komposer brilian diluar sana.”
Karen mengambil napas panjang, berusaha untuk mengambil kesimpulan dari apa yang didengarnya. “Kau benar-benar harus membenahi jalan pikiranmu,” ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. “Apa kau tidak pernah bahkan satu kali saja untuk mengapresiasi bakat yang kau miliki? Yang kau punya itu luar biasa, Bas. Caramu memilah dan menulis cerita, sampai mengaransemen untuk menjadi sebuah lagu selalu membuatku heran – can someone be this genius?
Bastian terdiam mendengar hal itu, ia tidak pernah berpikir untuk menghargai setiap karya yang telah ia buat. Ia akui jika ia telah membuat setidaknya ratusan lagu sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, tapi ia tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang spesial.
Don’t be so hard on yourself. Tidak banyak komposer yang bisa konsisten dalam periode yang panjang. Aku harap kau memilikinya.”
I hope so.” Bastian mencari topik untuk melanjutkan pembicaraan. “Bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka mendukung keputusanmu?”
“Orang tuaku tidak pernah ada di rumah – ayahku seorang pilot dan ibu bekerja sebagai konsultan perusahaan multinasional yang mengharuskannya untuk selalu bepergian. Mereka sepenuhnya percaya pada keputusanku, apa yang ingin aku lakukan untuk hidupku.”
“Kau punya saudara lain?”
“Satu adik perempuan, beda dua tahun denganku. Dia tinggal bersama nenekku di Indonesia. She’s an ignorant girl.
“Apa dia bisa bernyanyi juga sepertimu?”
“Dia bergabung dalam paduan suara di sekolahnya, jadi menurutku dia bisa bernyanyi.” Karen menunjukkan sebuah foto dari ponselnya, “namanya Sandra. Diambil saat aku pulang ke Indonesia dua tahun lalu.”
She looks just like you.” Bastian berusaha menyesuaikan matanya dengan layar ponsel. “Aku bisa mengatakan dia adikmu jika melihat mata dan hidungnya.”
“Ya, dia amat mirip denganku.” Karen memasukkan ponsel ke dalam tasnya, melanjutkan..

“Kau memikirkan perempuan lain rupanya.”
“Apa?”
You do have a girl crush.” Collin mengacungkan pisau dengan tangan kanannya. “Siapa perempuan yang ada dalam pikiranmu sekarang?”
“Tidak ada.” Bastian dikejutkan dengan getaran ponsel di saku celananya. Ia membuka pesan dari nomor tidak dikenal:

“Kau ada waktu kosong Sabtu ini?” -Vivi

“Lo udah ngabarin Bastian kita udah di studio?”
“Udah, belum bales. Masih makan kali mereka.” Tidak lama pintu studio terbuka, Bastian dan Collin masuk dengan membawa dua buah cup carrier – masing-masing berisi dua gelas Espresso – di tangannya.
“Oh, kita hanya membawa empat gelas.”
That’s okay.” Barry mengangkat tangannya, memperkenalkan diri. “Barry, salam kenal.”
“Bastian, dan ini Collin.”
“Dia Technical Director disini dan mengundang kita ke Jazz Annual Sabtu nanti. Kalian bisa ikut?” jelas Kiana. 
“Dengan senang hati.” Collin tidak pernah melewatkan acara musik Jefferson. Ia selalu hadir setiap tahunnya.
Cool. Kita langsung latihan ya?” Karen menghampiri sudut ruangan, mengambil segelas Espresso dan memberikannya ke Barry yang ia terima dengan senyuman hangat. 
Coba liat deh thumbnail pic dalam postingan ini. Ngerasa seger gak sih? Bayangin rasa manis-asamnya beradu dalam mulut kita, wih kadang makan satu aja gak cukup.

Nah, bisa jadi pertanyaan nih – kenapa kita udah bisa tau rasanya, padahal makanan atau minuman yang kita liat belum nyampe ke lidah kita? Buat yang kepo, baca terus yuk!

Sebelum masuk ke pembahasan utama, aku mau jelasin dulu ya proses lidah kita akhirnya bisa mengecap semua rasa. Gustatory system atau sistem pengecapan merespon semua molekul yang terdapat pada makanan atau minuman, yang dilarutkan oleh air liur kita. Kita bisa liat ada benjolan-benjolan kecil di lidah – namanya papilla – yang melindungi ribuan sel pengecap (tastebuds) didalamnya, bertugas untuk mendeteksi rasa pada makanan. Mungkin dulu kita pernah diajarin kalau rasa bakal bisa ‘dirasain’ di area tertentu (ujung lidah buat rasa manis, etc.) – well, it’s not true. Sebenarnya reseptor rasa tersebar luas, bahkan untuk satu tastebud mungkin mengandung protein reseptor untuk beberapa rasa. Bisa diilustrasikan seperti satu rumah yang dihuni oleh banyak anggota keluarga, yang masing-masing memiliki tanggung jawab berbeda, namun gak jarang mereka juga ngelakuin tugas rumah lain. Jadi sebenarnya gaada penyusunan reseptor rasa yang jelas di lidah kita, seluruh bagian lidah bisa merasakan semua rasa dan gak terbatas pada daerah tertentu. 

Ketika makanan yang kita kunyah udah bercampur dengan air liur dan menyebar di sekitar papilla, protein reseptor akan menyeleksi molekul yang bercampur pada makanan dan mendeteksi target partikel makanan. Ibaratnya protein reseptor kaya gembok, kalau udah ketemu kunci yang cocok (dalam hal ini partikel makanan ya) mereka bakal bereaksi. Saat reseptor distimulasi, mereka akan mengirimkan sinyal melalui tiga saraf kranial menuju medulla oblongata di batang otak, lalu ke thalamus dan berakhir di gustatory cortex untuk menerjemahkan sinyal dan bikin kita sadar sama rasanya.

www.meetlalaland.com - pedas bukan rasa, dan hubungan indera pengecap dengan indera penciuman

Okay, now we dive into the main problem. Apa sih yang bikin kita bisa lebih dulu tau rasa makanan tertentu? Pertama, dari sisi penciuman. Rasa dan bau terbentuk dari persepsi bahan kimia yang ada di udara atau makanan kita dan keduanya memiliki hubungan erat. Indera pengecap dan penciuman sama-sama tergantung pada pendeteksian molekul. Secara bersamaan, kedua indera ini menciptakan persepsi dan indera penciuman kita menambah kompleksitas untuk rasa yang kita rasakan – misal kita mencium aroma dari udon, pasti lidah kita udah ‘terbayang’ rasa gurih dari kaldunya. 

Indera pengecap dan penciuman bergabung di bagian belakang tenggorokan, dan keduanya menggunakan kemoreseptor yang terdapat pada papilla di lidah kita. Selain itu juga ada aktivasi reseptor serupa di hidung yang berkoordinasi dengan aktivasi reseptor rasa, sampai akhirnya kita bisa bedain mana yang manis dan mana yang pahit. Makanya, karena kedua indera ini bersentuhan langsung dengan lingkungan, gak heran kalau kita lagi sakit kita gak bisa bedain rasa makanan karena penciuman kita ikut terganggu. 

Kedua, dari sisi visual. Kita suka berasumsi sama penampilannya, misal kita pesan minuman yang warna merah kita bakal mengasosiasikan minuman tersebut dengan rasa manis. Menurut Ndom dan kedua rekannya, meskipun gak ada kaitan sama rasa minuman yang sebenarnya, warna minuman sangat mempengaruhi tebakan kita. Sama halnya dengan plating. Makanan yang disajikan diatas piring putih akan mengarahkan persepsi kita ke rasa yang lebih kuat, karena warna makanan terlihat lebih cerah dan appetizingStewart dan Goss menjelaskan kalau piring putih bundar meningkatkan intensitas rasa makanan sebesar 30%. Besar juga ya!

Terakhir adalah dari segi emosi. Sadar atau enggak, mood kita bakal ngasih dampak pada cara kita memandang makanan loh! Berdasarkan penelitian Noel dan Dando, orang dengan mood positif bakal lebih sensitif sama rasa manis, sedangkan mood negatif akan lebih peka dengan rasa asam. Ada juga penelitian yang mengungkap kalau orang dengan tingkat kecemasan dan neurotisme yang tinggi lebih suka sama rasa manis karena mencirikan ‘perasaan nyaman.’ Para ilmuwan lagi semangat-semangatnya buat meneliti lebih lanjut terkait persoalan ini, kita tunggu perkembangan selanjutnya ya!

Satu lagi aku mau ngingetin, karena masih banyak yang menganggap kalau rasa itu ada lima: manis, asam, asin, pahit, dan pedas. PEDAS IS NOT A TASTE! Pedas merupakan sensasi nyeri dan nyeri bekerja melalui reseptor rasa sakit atau biasa disebut nosiseptor yang terdapat pada lapisan luar kulit dan selaput lendir mata, hidung, mulut, dll. Nyeri bikin kita sadar kalau ada sesuatu yang bisa ngerusak tubuh kita. Nosiseptor menanggapi sesuatu yang bisa merusak tubuh dengan mengirimkan sinyal ke otak yang bakal menafsirkan dan mengirim informasi untuk bikin lidah kita mati rasa – bersifat temporary dan gak merusak indera perasa. Rasa terakhir adalah umami, yang sebenarnya udah diidentifikasi oleh ilmuwan Jepang di tahun 1908 lalu.

Masih banyak fakta menarik lain soal indera yang satu ini, yang mungkin bakal aku bahas lebih lanjut di postingan selanjutnya. I hope you find this article helpful and stay healthy. Bhaiiii!


Sources:
Blumenrath, S. (2020, January 17th). How Taste and Smell Work
BrainFacts SfN. (2012, April 1st). Taste and Smell
Ishti. (2016, June 13th). Did You Know That ‘Spicy’ is Not a Taste?
Jones, Sarah L. The Truth Behind The Myth that Spicy Foods Kill Your Taste Buds. Retrieved November 30, 2020
Lumen Candela. Taste and Smell. Retrieved November 30, 2020
Ndom, R., et al. (2011). The effect of colour on the perception of taste, quality and preference of fruit flavoured drinks. IFE PsychologIA, 19(2)
Noel, C., Dando, R. (2015). The effect of emotional state on taste perception. Appetite, 95, 89-95
Rak, S. How Psychology Affects the Way You Taste Food. Retrieved September 14, 2020
Richardson, P., Saliba, A. (2011). Personality Traits in the Context of Sensory Preference: a Focus on Sweetness. Handbook of Behavior, Food and Nutrition, 85-97
Sherman, C. (2019, August 12th). The Senses: Smell and Taste
Stewart, P. Goss, E. (2013). Plate shape and colour interact to influence taste and quality judgments. Flavour, 2(1), 27
Vera, Lucy A., Wooding, Stephen P. (2017, July 7th). Taste: Links in the Chain from Tongue to Brain
Dari sekian banyak motif pakaian yang ada di dunia ini, kira-kira apa yang jadi top of mind kalian? Yup, salah satunya pasti floral prints. Gak jarang beberapa di antara kita masih bingung atau bahkan takut buat mencoba invensi dari dunia fesyen ini. Tapi sebenernya gimana sih motif ini bisa jadi tren bahkan sampai sekarang?

Sekitar abad ke 12 floral printings telah hadir di daerah Timur – khususnya negara Cina yang diyakini sebagai penemu motif satu ini. Cetakan pertama dan sangat populer adalah peony, bunga dengan kelopak besar dan warna-warnanya yang cerah. Dalam budaya Tiongkok sendiri, peony merepresentasikan sebagai penghormatan, keberuntungan, dan menjadi simbol terpenting dalam Feng Shui. Di akhir abad ini, Jepang pun menelurkan terobosan floral prints dengan merancang kimono, yang menjadi pakaian tradisional yang kini dicintai banyak orang.

www.meetlalaland.com – cara mengakali pakaian motif bunga untuk semua tipe tubuh

Bergeser ke arah selatan, India pun menjadi salah satu pusat tekstil yang menghasilkan berbagai garmen yang mempesona. Salah satu kain yang ‘menjembatani’ budaya Timur dengan Barat adalah chintz. Dengan pola bunga yang besar dan hasil akhir yang mengkilap, awalnya tekstil buatan tangan ini diperuntukkan untuk dekorasi rumah di India. 

Mulai dari abad ke 14 inilah pedagang Eropa bergerak dalam penyebaran garmen floral prints – mulai dari chintz hingga kimono – ke beberapa negara. Dengan adanya ‘Industrial Revolution’ (and trust me, this revolution is making a HUGE impact for any fields) di negara-negara Eropa dan Amerika, berbagai produksi tekstil, termasuk floral printings, dapat berkembang dengan inovasi motif-motif yang bertambah setiap harinya.

Okay, now it’s time to decide: sink or swim? Sebagai perempuan pastinya kita punya kekhawatiran sendiri buat mengakali gimana caranya agar kita bisa tampil “wah” dengan motif pakaian yang agak tricky ini. Kita bahas satu-satu ya!

a. Bagian dada besar, pinggul kecil, kaki ramping a.k.a Apple Shape
  • Gunakan atasan dengan motif bunga kecil berbahan jatuh (bakal lebih oke jika atasan memiliki kerah berbentuk V ya!)
  • Kata siapa gak bisa pakai bawahan bermotif? Boleh banget! Cari bawahan dengan motif bunga yang besar, padukan dengan blazer polos, dan lihat hasilnya!
  • Pilih empire dress dengan motif bunga tidak terlalu besar. Usahakan dress sepanjang lutut agar kaki rampingmu dapat terlihat 

Mengakali motif bunga untuk bentuk tubuh apple shape

b. Bahu lebar, pinggul kecil a.k.a Inverted Triangle Shape
  • Sama halnya dengan pemilik apple body shape, pilih bawahan dengan motif besar to camouflage your small waist
  • 2-in-1 dress! Dress dengan bagian atas berwarna solid, round neckline dan bawahan bermotif besar untuk mempermanis penampilanmu

Mengakali motif bunga untuk bentuk tubuh inverted triangle shape

c. Bahu dan pinggul berukuran sama a.k.a Rectangle Shape
  • Wrap waisted tops with small floral prints. Ini akan memberikan lekukan lebih pada bagian pinggangmu. Combine with back pocket pants to give some volume 
  • Midi dress dengan motif bunga berukuran sedang. Beri sedikit ruffles dibagian samping pinggang untuk memberi efek dinamis! 

Mengakali motif bunga untuk bentuk tubuh rectangle shape

d. Bahu sempit, pinggang ramping a.k.a Pear Shape
  • Atasan dengan motif besar dan berwarna cerah bakal menarik perhatian ke bagian atas dan menyeimbangkan bagian bawah tubuh kita 
  • A-line dress akan menampilkan garis pinggangmu (which you should be proud of!) dan melebar dari bagian pinggul ke bawah 

Mengakali motif bunga untuk bentuk tubuh pear shape
Dolce & Gabbana 1. Top, 2. Midi Dress

e. Kaki panjang, tinggi semampai – It’s time to stand out!
  • Embrace large prints. Karena proporsi tubuh yang panjang, motif dengan ukuran besar bakal cocok banget nih! Misal gak mau pakai pakaian bermotif dari ujung kaki sampai kepala, pilih salah satu (atasan atau bawahan) dengan motif besar
  • Maxi or midi dress with small floral prints will also look good on you. Jangan sia-siain! 

Mengakali motif bunga untuk tubuh tinggi

f. Tubuh mungil – try not too much
  • Buat kalian yang punya postur tubuh kecil, disaranin untuk menghindari outfit dengan motif besar karena akan membuat kalian ‘tenggelam’

Mengakali motif bunga untuk tubuh mungil

g. Hijabi, this is for you!
  • Mix and match your plain sweaters with floral prints dress!
  • Go casual with denim jacket. Padukan dengan cargo pants atau flare pants polos untuk menyeimbangkan tampilanmu

Mengakali motif bunga untuk hijab

That’s a wrap! Aku harap semua yang aku rekomendasiin diatas bisa bantu kalian untuk combine apapun yang ada di lemari kalian. Ketemu lagi di postingan selanjutnya, see you! 


Source:
Bucci, J. (2015, July 2). Fashion Archives: The History of Floral Fabrics in Fashion
Peonies – flowers with a rich history. What do they Symbolize? (2019, September 29)
Ross, Charlie B. (2014, October 8). Flower Fashion Through the Ages
“Dari mana saja kau?”
“Kalian sudah disini?”
“Kau tidak sadar sekarang jam berapa?”
“Aku menunggumu diluar perpustakaan dua puluh menit, Bastian. DUA PULUH MENIT! Kau lupa aku meneleponmu semalam? Omong-omong, kemana handphone sialanmu itu?” Suara Collin meninggi, ia berbicara dalam bahasa Perancis yang mungkin hanya yang berurusan saja yang paham.
“Maaf, lanjut aja ya? Udah sampai mana kalian?”
Overall, they’re good. Aku gak nyangka mereka bisa akting sebaik itu. Tinggal urusan vokal.”
“Ker, tolong ya. Gak ada nyanyi-nyanyian.” Kiana membuka bungkusan Lay’s varian Cheddar Jalapeño kesukaannya, tidak peduli dengan tatapan Mrs. Maurice, penjaga perpustakaan Jefferson.
“Kalian sudah punya lagunya?” berbeda dengan Kiana, Collin tampak antusias.
“Kalian coba dengar dulu demonya,” Bastian menyetel pemutar musik dan memberikan earphone kepada mereka.

Proyek mereka bisa dibilang sudah selesai hingga babak kedua, Bastian pun telah menyelesaikan seluruh lagu yang akan dibawakan mereka dengan Karen sebagai guide singer. Setiap harinya mereka melakukan rekaman dan Bastian telah menghasilkan lima buah lagu untuk preliminary nanti yang akan diadakan minggu depan.

“Astaga, Karen. Ini suaramu?”
“Kok bisa nyanyi bagiannya Collin?”
“Selebar itu vocal range dia. Aku juga sama kagetnya dengan kalian,” Bastian melihat Karen penuh arti. Kiana sama sekali tidak melewatkan hal kecil ini. 

Bastian tidak pernah bisa melupakan proses rekaman guide song yang mereka lakukan empat hari setelah merekrut Kiana dan Collin. Saat itu, untuk pertama kalinya Karen menaki subway menuju studio rekaman milik Bastian – ban sepeda biru langitnya kempis akibat melindas paku di depan bangunan rekonstruksi hotel dekat Jefferson.

“Oke, sampai dimana kita?” tanya Karen saat itu begitu ia melemparkan tubuhnya di sofa.
Alright, so this is the guide songs I’ve made so far. Baru lima lagu sih.”
“Baru lima lagu kau bilang? Bagaimana kau bisa secepat itu? Be proud of yourself.

Karen memasang headphone yang Bastian berikan padanya. Baru kali ini Bastian tidak dapat membaca ekspresi Karen, yang biasanya selalu ekspresif dalam hal kecil sekalipun. Tidak sanggup melihat wajah Karen, Bastian pun akhirnya menyibukkan diri mengatur audio amplifier didepannya.

“Bas?” Karen memanggil Bastian tujuh belas menit kemudian.
“Gimana? Ada yang kurang?”
This is great, I mean it. Aku gak ngerti kenapa kau bisa se-gak-pede itu sama kemampuanmu.” Karen hanya bisa menggelengkan kepalanya, takjub dengan apa yang telah Bastian lakukan untuk kelima lagu tersebut. Mendengarnya langsung dari Karen membuat Bastian semakin ingin menyelesaikan lagu untuk Karen.
“Tapi kalau aku boleh saran, judulnya gak cocok. Apalagi untuk tiga lagu ini,” ia berdiri menghampiri Bastian, menyerahkan tiga lembar musik padanya.
“Aku setuju. Jujur aku kesulitan menentukan judul untuk tiga lagu ini.”
“Kenapa? Kelihatannya kau lebih mendalami lagu-lagu ini. Aku melihat keseriusanmu disini.” Karen mengangkat sebuah lembar musik, dengan coretan ‘At This Moment’ sebagai judulnya.
“Semakin terlibat dalam sebuah lagu, aku semakin tidak bisa menentukan judulnya.” 
Interesting. Untuk yang satu ini aku merekomendasikan ini,” Karen menuliskan sarannya pada lembar musik, mengganti judul menjadi ‘Cigars.’ “Aku pribadi ingin setiap lagu benar-benar menggambarkan tiap adegan dari role play kita – judulmu sebelumnya menunjukkan ambiguitas.”

Setiap menitnya Bastian menikmati kebersamaannya dengan Karen. Ia tidak percaya jika Karen memiliki indera yang kuat untuk setiap elemen dari kelima lagu tersebut, tapi Karen tidak pernah menginginkan untuk mengubah aransemen. Ia ingin menjaga orisinalitas dan ciri Bastian.

Shall we start? Ada yang ingin kau ubah lagi?”
Nope, it’s all good now. Gila aku deg-degan setengah mati untuk rekaman hari ini.” Karen melangkah memasuki isolation booth, mencoba untuk menenangkan diri dengan membuka tumblr pemberian Kiana, meminum air putih yang ia bawa dari apartemennya.

Lagu pertama memiliki aliran folk pop dengan judul ‘Smoke and Mirrors.’ Lagu ini akan dinyanyikan oleh Kiana – mereka benar-benar memiliki harapan penuh padanya. Dengan nuansa mistis lagu ini akan dibawakan Kiana pada second stage, dimana Kiana akan menyebarkan rumor dari kota kecil yang mereka tinggali.

Rekaman hari itu berlangsung cepat tanpa hambatan. Karen melakukannya dalam satu kali pengambilan, tanpa cela. Andai Bastian menyampaikan isi hatinya..


“Gimana? Kalian bisa, ya? Minggu depan kita udah preliminary soalnya,” suara Karen memecahkan lamunan Bastian.
Please, Ker. Don’t let me sing.
“Ki, lu pasti bisa. Percaya sama gue.”
“Jadi dua lagu ini untukku?” Collin mengambil dua lembar musik dari tangan Bastian.
“Yep. Kau akan bernyanyi secara solo.”
No duet?
Not today,” Bastian ingin melihat kemampuan Collin lebih dulu sebelum akhirnya memercayakan format tersebut.
“Kalian ada kelas hari ini?”
“Aku gak ada. Tapi aku harus ke Papa Gio jam empat nanti.”
“Sampai jam berapa?”
“Aku mengisi shift temanku, dia ada asistensi dari kampusnya. Aku hanya menggantikannya sampai jam lima.”
Well I’m free, by the way,” Collin akhirnya mengambil segenggam keripik kentang milik Kiana setelah sekian lama mengamatinya.
“Langung ke studio aja kali ya?”

Mereka berjalan ke arah barat perpustakaan menuju Stockholm Drama Studio, ruang latihan andalan milik fakultas Performing Arts. Studio ini tidak memiliki kursi, namun luasnya hampir lima kali dimensi ruang kelas biasa. Sepanjang dindingnya memiliki cermin yang menempel pada ketiga sisi ruangan. Terdapat empat buah lampu gantung minimalis di setiap sudut, sebuah piano, dua buah gitar akustik, dan sebuah papan tulis berjalan dekat pintu masuk.

“Kita coba nyanyi dulu?” tanya Collin penuh semangat, melempar long coat dan ranselnya tepat dihadapannya. 
“Boleh. Siapa dulu?”
I’ll go first,” tanpa disangka Kiana menawarkan diri. “Gue pengen cepet beres. Bisa jantungan gue dinanti-nanti,” bisiknya pada Karen. Kiana melakukan pemanasan dan menarik napas panjang, berusaha setengah mati untuk menutupi rasa gugupnya.

Diantara tiga lagu yang Karen berikan, Kiana memilih ‘Fair-weather Friend’ – ditulis Bastian saat ia menunggu subway menuju rumah pamannya. Saat itu ia melihat dua remaja bergosip didepannya dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Ia menjadikannya sebuah lagu beraliran baroque pop berdurasi tiga menit lima detik. Bastian masih sangat ragu untuk memberikannya pada Kiana mengingat lagu ini memiliki jangkauan nada yang cukup rendah dibandingkan lagu lainnya.

Namun keraguannya hilang saat Kiana menyanyikan bagian intro. Suara Kiana terdengar sangat cocok dengan karakter lagu yang dibawakan, walaupun ia belum terasa lepas dalam menyanyikannya. Karen, yang diminta Kiana untuk selalu berdiri disampingnya, tidak dapat menutup mulut – ia benar-benar tidak mengetahui kemampuan temannya yang satu itu. Collin pun tidak dapat mempercayai telinganya. 

“Ki, gue beneran bakal hajar lo,” Karen teringat janjinya tempo hari, melayangkan tatapan kagumnya pada Kiana tepat setelah ia menyelesaikan lagunya. 
“Wow, Kiana. You blew me away,” Collin mengangkat tangan, menunggu balasan Kiana.
“Aku gak sebagus itu ya.”
“Karen, kau membawa orang yang benar-benar cocok dengan perannya. Aku tidak sabar mendengarnya membawakan lagu yang lain.”
“Kau tahu? Suaramu amat mirip dengan Monroe dan Del Rey.”
“Ya ampun, Collin. Kau sepemikiran denganku.”
“Oke, cukup dengan Kiana. Sekarang giliranmu.” Bastian memberikan secarik kertas dengan tulisan ‘Extra Miles’ diatasnya.

Collin memiliki suara yang manis, berbanding terbalik dengan penampilannya yang cool. Walaupun memiliki jangkauan vokal yang sempit, ia dapat mengakalinya dengan mudah. Melihat Collin, Bastian langsung mengambil laptop dari tas punggungnya dan membuka GarageBand. Ia mendapatkan inspirasi.

“Karen, mereka harus duet.”
I couldn’t agree more.

****

“Gue penasaran dari tadi. Lo gak pede atau lo emang humble bragging kalau buat urusan nyanyi?” Karen berjalan di depan Kiana, keluar area kampus. Ia menawarkan diri untuk menunggu Kiana di Papa Gio setelah keempatnya sepakat untuk memiliki ‘waktu istirahat’ sebelum akhirnya berkumpul kembali jam enam nanti.
“Yang pertama. Karena gue emang ngerasa gak bisa nyanyi.”
“Jadi lo gak pernah nyanyi di depan siapapun? Temen-temen SMA lo? Cowok lo? Bokap nyokap lo?”
“Seinget gue kalau karaoke doang. Lo tau lah, kalau karaoke hype-nya bakal gimana dan yang pasti gue gak pernah serius selama karaoke.”
“Gila ya, lo? Harusnya di kesempatan itu lo tunjukkin suara lo,” Karen berjalan moonwalking, memberikan pandangannya terhadap kemampuan Kiana. “Asal lo tau ya, suara lo tuh unik. Mungkin dari sepuluh orang, cuma ada dua orang dengan suara kaya lo yang bener-bener ngerti cara makenya – dan lo salah satunya! Bisa-bisanya kemarin lo bilang..” ia terhenti ketika Barry sengaja menempatkan tubuh tegapnya di belakang Karen. Intensinya berhasil untuk menarik perhatian Karen.
“Dimana-mana lo bawel kaya gini ya? Gue kira pas sama gue doang.” Berbeda dengan hari lainnya, Barry tampak menarik di mata Karen saat itu. Semilir angin di akhir Oktober tidak cukup untuk membuat Barry mengenakan baju tebal – ia hanya memakai kaos putih polos yang dilapisi kemeja denim dan dilengkapi oleh khaki cargo pants. Bahkan Chelsea boots yang sering ia pakai terlihat berbeda hari itu. 
“Ber! Mau kemana lo?”
“Balik gue. Finally, gue bisa kelar cepet.”
“Nah, kebeneran nih. Gue kan ada shift sekarang, tapi ini bocah batu banget pengen nemenin gue sampe gue kelar. Lo mau temenin dia kan? Cuma nyampe jam lima kok, abis itu kita balik lagi kesini.”
“Balik kesini lagi? Ngapain?”
“Latihan. Udah H-7 soalnya,” Karen akhirnya menemukan suaranya kembali.
“Oke. Tapi gue ikut sampe kalian selesai latihan ya? Kapan lagi gue ada waktu kosong kaya gini.” Barry memperbaiki posisi ranselnya dan mempersilakan kedua gadis tersebut berjalan dihadapannya.

Collin yang sudah menahan lapar sejak pagi tadi, terlihat kalap sesaat ia berdiri di depan counter The Café – beruntunglah tidak banyak mahasiswa yang mengantri pada jam tersebut. Sepuluh menit kebingungan menentukan menu, akhirnya ia membawa chicken marsala, raspberry vinaigrette, baked sweet potatoes dan assorted pies sebagai makanan penutup di atas nampannya.
“Kapan lagi aku bisa makan disini.”
“Aku masih butuh bantuanmu sampai semester depan.”
Whatever.” Ia menyuap sepotong ayam yang telah ia celupkan pada saus vinaigrette ke dalam mulutnya. Wajahnya menunjukkan kemarahan. “Ini benar-benar enak sampai membuatku kesal.” Bastian tersenyum, sudah lama ia memimpikan untuk memiliki waktu santai bersama Collin. Terakhir kali ia memiliki kesempatan itu saat mereka berdua masih tinggal bersebelahan di pinggiran kota Toulouse.
“Bagaimana kau bisa kenal dengan Karen? Bukankah dia beda program denganmu?”
“Kita ada di kelas yang sama, makanya kita ada tugas ini. Don’t you get it?
Wow, easy. I’m just asking.” Collin memotong kentangnya dan melanjutkan, “she’s great, you know.
She is,” dan Bastian teringat kembali dengan pembicaraannya dengan Karen sepulang rekaman guide song hari itu. Bastian menemaninya pulang ke apartemen Karen, mengingat jarak antara studio dan tempat tinggalnya sejauh enam blok dan proses rekaman selesai hampir tengah malam.

“Lulus dari Jefferson, apa yang akan kau lakukan?”
“Dari dulu mimpi aku cuma satu – tinggal di Vienna dan punya karir disana. Terdengar sulit tapi aku benar-benar menginginkannya.” Tampak kepercayaan diri dari mata Karen – sudah seharusnya dia yakin dengan kemampuannya yang luar biasa itu, pikir Bastian. “Akan sangat menyenangkan bisa bekerja sama dengan musisi dunia dan penyanyi opera yang aku idolakan disana.”
“Jadi tepat setelah kelulusanmu, kau akan terbang kesana.”
Sounds like it. Lagian urusanku disini pasti sudah selesai juga, kenapa harus ditunda?” Bastian mengangguk setuju, sekali lagi kagum dengan Karen yang telah memiliki rencana hidup yang terstruktur. Mereka terdiam. Hanya ada mereka berdua dan seorang wanita berusia 30-an di gerbong itu. Gesekan rel dengan roda subway dan gertakan antar-gerbong mengisi keheningan mereka.
Well, I’ll come with you,” entah dalam keadaan sadar atau tidak, Bastian mengucapkan hal itu. Karen seketika menengok ke arah Bastian, ucapannya berhasil memecahkan perhatian Karen yang sejak lima menit lalu hanya membaca poster yang tertempel di salah satu pintu gerbong. 
“Maksudmu?”
“Setelah mendengarmu, aku tiba-tiba ingin melakukan sesuatu di luar zona nyamanku. Selama ini aku tidak memiliki tujuan dan hanya melakukan yang bisa aku lakukan, tanpa melakukan perencanaan. Mungkin dengan keluar dari ‘duniaku’ dan mencoba sesuatu yang baru akhirnya aku bisa menemukan diriku yang sebenarnya,” Bastian menoleh, menatap langsung ke dalam mata Karen. “Bisa dibilang aku terinspirasi olehmu.”
Karen tersenyum lebar, untuk kesekian kalinya melemahkan denyut jantung Bastian. “Oke.” Satu kata itu yang akhirnya terus melayang dalam pikiran Bastian sampai sekarang.

“Hai. Boleh gabung?” suara ramah seorang perempuan datang dari kejauhan. Bastian mengangguk padanya.
Having a shoe bite is never on somebody's list, right? Here I am  hurting my left ankle and my right thumb because of the super-tight-fitting strap heels that I've been worn for miles running the world over and still deny that my shoes are – or WAS  definitely fine when actually it's already rubbed against my skin. Thanks to that, I can't barely move my feet with closed toe shoes.

Alright, enough for my miserable story. What I want to share with you guys right now is all about my favorite exercise, running! It's sad knowing that almost a month I can't run ☹️ but really, running is kewl you know what I mean?

Okay, notably at our age  teenager, young adult  we almost never do some exercises if its not 'a must' like for example most high schoolers maybe do sports only on their physical education class in school, right? As well as for the late adolescence, who already graduate from college or starting new career or maybe married and have a small family  they probably rule the training out from their life routine.


Choosing the right exercise for ourself is not easy, I admit that. But what I want to underlined is, it's not about the type of the sports; it all depends on our intention, our motives. There are so many advantage lies on each exercise, from burning calories to burning mental pressures; and for running itself, from my encounter, here's what you'll get:
  1. Improving your blood circulation. This happen because when you running, your heart rate also increases, so the oxygen  that carried by your blood  would help your muscle for doing their best during the practice. You will aware this occurrence once you try, trust me. This also prevent you from coronary.
  2. Lose weight. Running periodically will help burn your fat for your energy, so you'll have fatless body. Honestly, I lose my weight for about 2 pounds from running regularly but because of my accident and I have to rest my feet, well you do know the answer.
  3. Send the immunity through the roof. Every single practice will boost your immunity up, like definitely. I might be a little bit wet behind the ears, but running makes me stronger and I never been in poor health since I put this exercise into my daily life.
  4. Restore to well-being. IT REALLY HELPS. Through running, you'll forget all stuff, problem, or anything that bothers your thoughts. You'll focus on your breathing - which deep breaths will help to reduce stress.


Starting to run, specifically, will need some attention for not getting hurt by doing it improperly. You can't be in the pink of health without concerning anything surrounds you. But don't be afraid. Here are some tips for you, as a beginner, that you should notice before you set your feet:
  1. Warm up your body. It will prevent you from cramp or any injury. Do the cardio warm up planks, stretch up, etc.  or you can just start to walk. Do it for about 10-20 minutes before you start to run.
  2. Don't be so hard on yourself, you're not an Olympic runner. Personally, I don't want to encumber your will to begin this practice. Many experts said that you should aim your time bound, distance, or whatever it is. I just want you to target your achievement per se. The ideal time for exercise is 2 hours per week, but you can adjust your personal time considering your other activities and your being. The goal here is to make your body fit  so you can make an objective, let say 20 minutes per day for 4 days in a week. It's up to you, and don't be bother by distance you would make within your allocated time.
  3. Choose the right running gear, don't be glued to specific brands! Here's the thing: sometimes we dazed while picking up running equipment on account of particular brand. We all be like "oh this brand provides bunch of stylish gears," or we're just want the prestige of the brand itself. 
    • Shoes  choose running shoes that has flexible surface, well cushioned and also featherweight. As a newbie, you don't want to overwhelmed your feet with wrong shoes. 
    • Clothes  be sure to not overdress. You need a cloth that will wick the sweat away, for example outfit with nylon or polyester fabrics.
    • Sunscreen  pick a waterproof sunscreen with at least SPF 30, also protection from UVA and UVB. 
  4. Face front, stay focus. Avoid bending your neck down because it will block the pathway of oxygen. Fixate your eyesight to a subject for at least 20 meters ahead from you. 
  5. Breathe from your nose, not mouth. My friend who's great at running told me this. Breathing from your mouth would make you feel more exhausted than you should be. Organize your breathing with your footfall, it would make a huge difference.
  6. Hunchback? Please, don't. Straighten your body, pull you shoulder to the back without raising stress to your chest and stomach. Don't forget to loosen up once you feel fatigued.
  7. Land with your mid-sole. Step on your mid-sole first then roll it to the forefoot. Additionally, make your footsteps buoyant and soundless  it's more efficient and it wouldn't build a tension to your body.
  8. Find your compact-personal trainer. These days there are plenty running app that offers great features to accompany you while you run; also a trainer who could motivate, tell do's and don'ts, and train you how to be a good runner. I use Nike running app to assists my practices. 
In the end, whether it's running or any other exercise it would bring a huge benefit for your prosperity. Just be commit to what you've started and stay healthy. Carpe diem xx.

Haiiiiii! Setelah sekian lama akhirnya aku bisa nulis lagi! For the last few weeks, I struggle like A LOT from my backaches – dibilangnya sih karena posisi aku selama kerja di depan laptop gak bener dan olahraga yang terlalu diforsir + gapake pemanasan, jadinya punggungku cedera deh (tapi asli, sesakit itu 😭). Apa kabar nih kalian? Tetep jaga kesehatan ya, apalagi biasain untuk olahraga rutin dan pastiin PEMANASAN dulu. ✌🏻

Mungkin diantara kalian pasti ada dong yang udah nonton KDrama “It’s Okay to Not Be Okay?” Tema dari serial ini bisa dibilang termasuk salah satu diantara sekian banyak alur cerita yang, well let’s say; paling gak biasa, paling tabu, dan paling jarang dibahas bahkan untuk masyarakat Korea sendiri. Mungkin gak cuma di negeri ginseng aja ya, tapi hampir di banyak negara masih menganggap kesehatan mental sebagai salah satu hal yang butuh perhatian lebih. Aku berharap banget sih di negara kita lebih banyak edukasi dan sosialisasi terkait permasalahan ini, karena masih banyak dari kita yang belum memahami betul dari mental issues itu sendiri (and sex education, like please?)

For the drama, honestly, it is one of the beautiful artworks I’ve ever watched. Disaranin banget buat siapapun yang pengen belajar dasar psikologi dan males buat baca buku, jurnal, etc. buat nonton drama ini. Bagi yang udah nonton, pasti udah gak asing kan sama “The Butterfly Hug?” Disini aku bakal jelasin soal asal-usul, prosedur, dan metode-metode lain yang bisa diterapin saat kita atau mungkin orang terdekat kalian mengalami anxiety.

The Butterfly Hug pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Lucina “Lucy” Artigas dan Ignacio “Nacho” Jarero tahun 1998 lalu. Saat itu, mereka sedang menangani para penyintas yang selamat dari badai Pauline di Meksiko untuk menghadapi rasa trauma mereka. Aku ceritain sedikit yaa! 

Singkatnya, Lucy, Nacho, beserta anggota tim lainnya memberikan bimbingan psikologis kepada sekitar 200 korban baik orang dewasa maupun anak-anak di Acapulco, Meksiko. Di penghujung hari, Nacho meminta Lucy untuk memberikan kalimat penutup untuk pengalaman latihan self-soothing di hari itu. Saat itu, Lucy sedang bermain dengan seorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang kehilangan seluruh anggota keluarganya – ketika bocah tersebut melepaskan pelukannya dengan Lucy, ia bertanya, “jika kau kembali ke rumahmu, lantas siapa yang akan memelukku nanti?”

Mendengar hal itu, Lucy berpikir keras di depan seluruh kelompok, berdoa agar ia dapat membantu mereka. Perlahan ia mengangkat satu tangan ke atas dan menghadap dirinya sendiri yang diikuti oleh tangan lainnya – para korban pun mengikuti langkahnya. Ia kemudian menyilangkan tangannya, meletakkan jemarinya tepat di depan dada, dan menepuknya secara bergantian seperti kepakan sayap kupu-kupu.


Protokol ini digunakan sebagai salah satu stimulasi bilateral kepada anak-anak beberapa hari kemudian, dengan diiringi oleh bimbingan Lucy untuk menggambar ingatan terburuk mereka mengenai badai tersebut di atas pasir. Setelah beberapa pengulangan, mereka akhirnya mengungkapkan perasaan leganya kepada Lucy. “Kami merasa lebih baik.”

Voila! Akhirnya metode ini pun dikenal hingga sekarang.

Kita bisa banget ngelakuin self-help ini tanpa bantuan orang lain. Caranya, cari posisi duduk ternyaman kalian dan mulai bernapas dalam-dalam secara teratur dengan mata tertutup (bernapas melalui diafragma lebih baik loh!). Jangan abaikan seluruh emosi atau perasaan apapun yang muncul, just keep breathing. Tempatkan kedua tangan kalian secara menyilang di depan dada, letakkan jari-jari kalian tepat dibawah tulang selangka dengan ibu jari menghadap ke dagu. Kalian juga bisa mengunci ibu jari kalian – dengan begini, tangan kalian akan terlihat seperti kupu-kupu.

Kalau kalian udah merasa nyaman dengan posisinya, pernapasan kalian pun juga udah teratur, kalian boleh mulai menepuk dada kalian secara perlahan dan bergantian. Kiri, kanan, kiri, kanan, hingga kalian merasa lebih tenang. Jangan lupa untuk menarik napas dalam saat setiap kalian menepuk, okay?

Terus kenapa ya metode ini bisa membantu psikologis kita? Seperti yang udah disebutkan, The Butterfly Hug merupakan salah satu jenis stimulasi bilateral – dimana dapat berfungsi sebagai aktivator yang bisa menggabungkan informasi dari otak kiri dan otak kanan – sehingga memungkinkan kita untuk dapat berpikir menggunakan logika dan emosi kita secara seimbang.

Apart from this superb techniques, I’m gonna tell you simple ways to manage your mental sickness. Udah sering kucoba dan hasilnya emang beneran ngebantu aku buat ngelakuin aktivitas sehari-hari:
  • Accept your conditions. Banyak dari kita yang masih being denial atas apa yang kita miliki. Padahal dengan ‘menolak’ semua yang terjadi sama kita, itu gak bakal bikin diri kita menjadi lebih baik malah yang ada kita bakal terus berlarut sama masalah tersebut. Terima apa yang kita hadapi – mindfully – karena kita bisa ngerubah kehidupan kita dengan menerima, bukan dengan menyangkalnya.
  • Take a deep breath, feel it. Gak tipu-tipu, tapi ini beneran manjur banget ketika perasaan itu tiba-tiba muncul pas kita lagi beraktivitas. Misal kita lagi kerja and it comes all of sudden, yang bisa kita lakuin adalah membiarkan semua itu mengalir dalam diri kita; puas-puasin kalau mau nangis, teriak, atau bahkan marah sama keadaan. Jangan lupa untuk terus menarik napas dalam. Dengan bernapas yang dalam dan teratur akan memperlambat kerja jantung kita (yang pastinya bakal bekerja keras pas kita mengeluarkan emosi-emosi tersebut) dan tanpa disadari kita akan lebih tenang dan rileks.
  • Let all your senses work. Rasain semua yang ada di sekitar kita; angin yang menyentuh kulit, terik matahari yang bikin mata jadi silau, aroma rendang yang baru matang, apapun itu. Metode ini membantu kita untuk tetap hadir, fokus, dan menghargai apa yang terjadi sama diri kita sekarang alih-alih berfokus pada apapun yang mengganggu pikiran kita.
Itu dia bahasan mengenai Butterfly Hug dan beberapa cara yang bisa kita terapin untuk menghadapi mental illness. Untuk menutup postingan kali ini, aku bakal menyisipkan satu dari sekian banyak memorable lines dari drama “It’s Okay to Not Be Okay.”

“When you’re tired, get some rest. When you’re sad, go ahead and cry. It’s okay to take a break. Then one day, there will surely come a day when you’ll be able to run again.”

- It’s Okay to Not be Okay

See you on the next post!


Sources:
Byron Clinic. Marsha Linehan on Radical Acceptance. Retrieved on September 7th, 2020
Counseling Connections. Try the Butterfly Hug to Help with PTSD Symptoms. Retrieved on September 6th, 2020
Koopman, D. Science Shows How Crossing Your Arms and Legs Can Hugely Change Your Brain. Retrieved on September 6th, 2020
Parnell Institute. Bilateral Stimulation. Retrieved on September 7th, 2020
Terrell, D. Story of the Butterfly Hug. Retrieved on September 6th, 2020
Seperti dugaan Bastian, kelas Lyric Studies hanya berdurasi 15 menit yang diisi oleh penugasan yang sama dengan kelas Ear Training. Karen mendapat dua panggilan dari Kiana sejak kelas berlangsung, ia segera menelepon Kiana kembali dan memastikan keberadaannya. Bastian memberikan isyarat tangan pada Karen untuk meninggalkan kelas dan menemui Kiana lebih dulu.

Karen mendapatkan Kiana sedang berdiri di lobi utama. Ia berdiri menghadap akuarium besar dengan mulut terbuka lebar. Akuarium di lobi utama Jefferson memang selalu menarik perhatian banyak orang; memiliki ukuran 10x12 meter, biota laut dari berbagai belahan dunia, hiasan dan pencahayaan yang dekoratif, dan dilatarbelakangi oleh video hasil karya mahasiswa Visual Arts berkonsep ilusi optik seakan mengikuti tarian ikan-ikan disana.

“Mingkem woy.”
“Gokil. Ini gimana buatnya ya?”
“Pake nanya ke gue, mana ngertilah. Lo udah makan?”
“Belum. Katanya kafe disini enak ya?”
You’ll see. Ayo.”

Terlihat Bastian telah memesan Bento Box dan duduk di meja 18. Matanya memaku di hadapan layar laptop untuk mengerjakan aransemen yang akan dinyanyikan Karen pada proyek kolaborasi mereka – dalam waktu satu hari, ia telah mengerjakan dua buah lagu bertempo cepat.

“Suka Asian food? Eh gak nyangka loh,” Karen menaruh tas sandangnya di atas meja. “Nih orangnya, what do you think?”
“Hai. Kiana.”
“Bastian. Oke kok, cocok sama yang ada di bayanganku.”
“Cocok apaan nih?”
“Oh, oke. Jadi, di tahun kedua ini kita akan mengadakan role play buat proyek tahunan kita. Singkatnya, sekarang kau kita kasting buat jadi salah satu pemerannya.” Ada hening yang panjang disana.
“Ki?” Karen menjetikkan jarinya di depan mata Kiana.
“Lo beneran kasting gue buat proyek sebesar itu?” mata belo Kiana bergetar setiap detiknya.
“Serius. Lo gak usah worry sampe segitunya, beneran deh. Bisa enggaknya lo akting gak bakal ngaruh ke penilaian. Instructor gue cuma nilai kita berdua doang,” Karen berusaha meyakinkan Kiana. Tampak Bastian kebingungan melihat mereka berbicara dalam bahasa Indonesia – ia hanya memahami kata worry, dan instructor – dan berusaha menebak arah pembicaraan.
“I’m not worry about it, I’m just too excited!”
Bastian yang sejak tadi hanya melongo, akhirnya bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. “Baguslah kalau begitu,” sambung Bastian. “Apa kau ada waktu kosong minggu ini?”
“Aku bekerja setiap hari Senin, Selasa dan Kamis. Sisanya aku kosong.”
“Jadwal kuliahmu?”
“Jangan khawatir. Kellington punya jadwal kuliah sama persis dengan jadwal sekolah dasar. Omong-omong, aku jadi apa ya?”

Pada hari kedua orientasi mahasiswa, Vivi wajib memberikan formulir ketidaksediannya untuk menetap di asrama. Ia tidak ingin tinggal satu ruangan dengan orang yang belum pernah ia kenal sebelumnya, terlebih ia merasa superior terhadap mahasiswa yang ia anggap berada ‘dibawahnya’. Ia berjalan ke arah kantor administrasi setelah menyelesaikan tugas kelompok dengan peta kampus di tangan. Ia menghentikan langkah ketika meilhat sebuah bayangan tinggi di depannya.

“Lagi cari apa? Ada yang bisa saya bantu?” Barry, sang pemilik bayangan, bertanya.
“Maaf, aku sedikit bingung. Aku harus menyerahkan formulir ini kemana ya? Kampus ini terlalu besar, dari tadi aku selalu kembali ke tempat yang sama,” ia beralasan sambil memelintir rambut panjangnya.
“Oh, kau mahasiswa baru? Kantor administrasi memang agak jauh dan harus memutari kampus. Biar aku temani.”
“I’m Vivi, by the way.”
“Barry. Senang bertemu denganmu.”

Untuk menuju kesana, mereka harus melewati dua gedung fakultas dan melintasi taman utama. Fakultas Fine Arts memiliki arsitektur yang klasik dibandingkan Applied Arts yang lebih mengedepankan estetika dan modernisasi. Kedua fakultas ini kerap berlomba dalam meraih penghargaan – anugerah terakhir diperoleh Emilia Floramaria, mahasiswi keturunan Spanyol-Kuba yang memenangkan hadiah utama pada Graduate Fashion Week bulan lalu – dan memajangnya dengan konsep masing-masing. Selama mereka menyusuri tiap koridor, Vivi tidak lepas menatap Barry yang sibuk dengan telepon pintarnya. Tanpa pikir panjang, ia memulai pembicaraan.

“Kau mahasiswa sini?”
“Alumni. Sekarang jadi Technical Director.”
“Benarkah? Kau pasti lulusan terbaik, tidak heran kau dipercaya untuk pekerjaan sepenting itu.”
“Tidak juga.”
“Dulu dari program apa?”
“Playwriting.”
“Lulus kapan?”
“Dua tahun yang lalu.”
“Serius? Aku pikir kau baru….”
“Ini kantor administrasinya. Kau bisa memberikan formulir ini kepada petugas disana dan menunggu sekitar 15 menit. Saya duluan.”
“Oh, terima kasih.” Ekspresi riangnya seketika berubah drastis. Ia tidak mengharapkan percakapan dingin barusan. Senyumnya kembali terpasang saat dua lelaki dari program yang sama mengajaknya menemui petugas dormitori.

****

“Ini gila. Setiap hari ini yang lo lakuin?” Kiana melemparkan dirinya diatas kasur, berusaha mengumpulkan energi dan pikiran setelah lebih dari seminggu ia latihan bersama Karen.
“Yoi. Kan lo kemarin gak nolak.”
“Ya tapi gue gak ngira bakal segininya.”
“Lo belum latihan vokal, loh.”
Holy! Bisa gak khusus bagian gue di skip aja nyanyinya? Gue gak bisa.”
“Kan gue udah bilang, yang lo tampilin gak bakal ngaruh ke nilai gue.”
“Bukan itu masalahnya. Gue. Gak. Bisa. Nyanyi.”
“Sampe gue denger suara lo bagus, gue hajar lo.”
“Ya dibanding elo sama teman-teman lo gue gak ada apa-apanyalah.”
“Semua orang bisa nyanyi, tinggal gimana caranya mereka make teknik yang sesuai sama kemampuan suara mereka.”
Oh, look who’s talking.” Kiana bergegas menuju pintu ketika interkom bersuara: Jongro’s here.
“Eh, kerjaan lo gimana Ki? Aman? Nih, piringnya.”
“Papa Gio gak masalah, sih. Yang masalah duitnya.”
“Napa?”
“Gak turun-turun. Udah telat dua minggu.”
“Hamil kali dia.”
“Ha-ha,” Kiana menyuap sepotong daging marinasi besar ke dalam mulutnya. “Ker, gue boleh nanya gak?”
“Apaan?”

www.meetlalaland.com - cerita fiksi penyanyi opera

Interkom kembali berbunyi, namun kali ini tak ada suara apapun. Karen menghampiri pintu dan membuka akses, menunggu hingga tamu mengetuk pintu kamarnya. Kiana yang masih terus mengunyah mengintip ke arah Karen berdiri.

“Lama ya gue? Biasa, ada rapat dadakan.”
“Alesan lo. Kita baru makan nih, lo udah makan malem?”
“Belom. Asik deh, tiap kesini lo pasti lagi makan,” secara natural Barry memberikan dua tangkai bunga gerbera putih pada Karen.
“Eh, siapa nih? Kok Indo juga? Kenal dari mana lo?”
“Oh iya, gue lupa ngasih tau lo. Ini Barry, dia tukang panggungnya Jefferson.”
“Sembarangan lo. Technical Director ya gue.. siapa namanya?”
“Ah,” Kiana mengelap tangan ke celana tidur pendeknya, mencoba meraih tangan Barry. “Kiana, anak depan kamar.”
“Calon polisi dia.”
“Eh iya?”
“Kriminolog. Beda ya, sama polisi. Enak banget lo ganti profesi orang,” Kiana melempar daun selada yang tadinya ingin dijadikan sebagai bungkusan kepada Karen.
“Lagi girls night lo berdua? Atau jangan-jangan..”
“Lagi latihan kita, buat preliminary gue.”
“Masa? Lo bisa nyanyi, Ki?”
“Semua orang bisa nyanyi, tinggal gimana caranya mereka make teknik yang sesuai sama kemampuan suara mereka,” mengulang perkataan Karen barusan dan melirik ke arahnya.
“Keren loh. Jarang banget ada anak luar yang bisa ikutan.”
“Koreksi – baru pertama kali ditugasin proyek beginian, thanks to your best friend, Cecil.”
“Cuma dia doang yang dari luar? Sisanya?”
“Dua orang. Satu lagi dari NYU, sepupunya Bastian. Empat orang lagi anak filmmaking, sama conceptual art.”
“Bisa dapet juga lo akhirnya.”
“Usaha Bastian semua itu. Dia banyak kenalan dari fakultas lain.”

Ia melirik jam tangan – pukul delapan malam. Akhirnya aku bisa pulang lebih awal, pikirnya. Bastian berjalan menuju stasiun terdekat, menaiki subway dan duduk dekat pintu. Tidak sampai tujuh menit, ia sudah sampai tujuan. Berjarak lima ratus meter dari stasiun terdapat sebuah apartemen dua puluh lantai dengan pintu masuk satin silver penuh kesan mewah. Bastian mengeluarkan kartu identitas pada petugas keamanan, berjalan cepat ke arah lift dan memencet tombol empat belas.

Bastian menempel kartu pada RFID, melepas sepatu ketsnya setelah membuka pintu dan meletakkannya pada lemari putih yang berukuran hampir sepanjang foyer apartemennya. Ia berjalan menuju dapur dan membuka kulkas, mencari barang sebuah apel untuk disantap sebagai makan malam. Sambil menggigit buah tersebut Bastian mengeluarkan laptop dan menempatkannya diatas meja belajar, berencana untuk melanjutkan lagu untuk Karen. Namun mata yang hanya bisa membuka setengah dari diameter aslinya, membuat Bastian untuk langsung merebahkan punggung pada kasur. Baru saja ia hendak memejamkan matanya, Collin – salah satu sepupunya yang beruntung – menelepon.

“Aku harus latihan kesana? Jam berapa kau ada di Jefferson?”
“Dari jam delapan aku sudah duduk manis di perpustakaan. Terserah kau mau datang jam berapa.” Tanpa menunggu jawaban dari Collin, Bastian menutup konversasi tersebut dan langsung tertidur.

****

Collin yang sejak tadi menunggu di depan perpustakaan, kini memainkan jubah panjang yang menutupi hingga lututnya. Hampir dua puluh menit ia menunggu dan dua belas kali menelepon sepupu tertuanya, yang ia dapatkan hanya jawaban dari operator untuk menghubungi kembali. Dari kejauhan, Karen dan Kiana melihat sosok tersebut yang kini menghentakkan kakinya karena merasa kedinginan.

“Collin, ya?”
“Iya. Salah satu dari kalian pasti Karen.”
“Dia Karen, aku Kiana,” Kiana memberikan segelas hot Americano pada Collin, beruntung mereka membelinya di tengah perjalanan. “Kau menunggu Bastian?”
“Iya. Sudah dua puluh menit aku disini, aku tidak punya akses masuk. Aku meneleponnya juga tidak dijawab.”
“Ampun, bener-bener ya. Aku harus memberinya pelajaran nanti.” Karen menggandeng tangan Collin yang sudah gemetaran untuk masuk bersama.

Sejak jam tujuh pagi Bastian memaku di depan Kennedy Drama Theater, menunggu salah satu temannya yang berniat untuk mengembalikan memori eksternal yang dipinjam sejak akhir semester lalu. Ia mengutuk dirinya setiap menit karena lupa mengisi daya telepon genggamnya. Pukul delapan lewat empat puluh menit barulah temannya datang, memberikan yang ia pinjam, dan melesat pergi untuk mengikuti kelas.

Bastian menuruni tangga dengan santai, ia berpikir Collin pun tidak akan datang secepat itu – ia terlanjur sakit hati menjadi orang yang selalu tepat waktu. Ia menginjak tangga terakhir ketika lagu dari Tchaikovsky terdengar dari studio tari yang tidak jauh dari sana.

Madeleine Dance Studio merupakan salah satu studio tari terbesar di Jefferson; memiliki luas 1.800 m2 dengan eksterior kaca yang bahkan memungkinkan pejalan kaki menyaksikan seluruh kegiatan didalamnya. Bastian melihat punggung perempuan dengan gelungan rambut pirang menari dengan ringan. Tanpa sadar kakinya telah membawanya masuk ke dalam studio.

“Halo,” perempuan itu menghentikan tarian.
“Yang kau lakukan barusan itu menakjubkan.”
Adagio maksudmu?”
“Istilah itu ada juga di balet?”
“Kau lupa asal balet dari mana?”
“Ah, iya.” Bastian menundukkan kepala dan berjalan keluar menuju pintu. Rasa ingin tahu kembali menggiringnya masuk. “Kau mahasiswa baru?”
“Iya. Aku Vivi.”
“Bastian.”
“Setiap pagi aku selalu latihan disini, jika kau penasaran.” Vivi mengambil sesuatu dalam tasnya, mendekati Bastian dan menulis nomor telepon pada lengannya, “kau boleh menghubungiku untuk memastikan.”
“Oke. Sampai jumpa besok.”

Dengan langkah ringan Bastian keluar dari studio. Ia hendak mengambil ponselnya ketika teringat jika ia melewatkan sesuatu – Collin.

Instagram